Hari ini Dodi berulang tahun. Aku
ingin memberikan sesuatu yang istimewa untuknya. Sesuatu yang bisa membuatnya
bahagia dan memaafkan tingkah lakuku yang tak pantas selama ini. Hari ini akan
kuserahkan seluruh cintaku padanya. Kan kuberikan sepenuh hatiku untuknya. Kan
kubalas hari - hari menyakitkan yang dilaluinya dengan manisnya cinta. Aku
membungkus bingkisan yang telah kupersiapkan untuk kado ulang tahunnya sambil
bersenandung riang. Dodi sudah lama menginginkan jam tangan ini, yang diburunya
sejak enam bulan lalu. Kutemukan seminggu yang lalu saat aku tugas ke
Singapura. Di hari istimewanya ini aku akan melakukan sesuatu yang spesial. Aku
akan menjamunya makan malam, memberikan hadiah untuknya, dan menyatakan cintaku
padanya. Ya, aku ingin kembali padanya. Aku ingin menjadi bagian hidupnya lagi.
Aku ingin mengarungi dunia bersamanya. Aku bertemu Dodi setahun yang lalu, di
klub fotografi tempat aku menghabiskan waktu di akhir pekan. Aku adalah
pendatang baru di klub ini. Rasa penasaran melihat foto – foto spektakuler yang
dihasilkan Joey, temanku, mendorongku untuk bergabung di salah satu komunitas
potography di Jakarta. Sial bagiku. Di hari pertama aku bergabung, klub
memutuskan untuk hunting foto di kawasan kota tua Jakarta. Sesampai di tempat
tujuan, setiap fotografer langsung beraksi. Potret sana, potret sini. Ambil
angle dari sana dan dari sini. Semuanya sibuk, tak terkecual aku. Bedanya,
Semua orang sibuk memotret, sementara aku sibuk berkutat dengan Nikon D80 yang
baru kubeli empat hari yang lalu. Ini pertama kali aku memiliki kamera SLR dan
seratus persen buta bagaimana mengoperasikannya. Mau bertanya, malu. Jadi, yang
kulakukan hanyalah membuka dan menutup lensa. Aku tengah mengotak – atik sang
kamera saat seorang cowok dengan postur tubuh kurus mendatangiku. "Kenapa
kameranya?" tanyanya. "Rusak ya?" Bingung tak tahu mau
mengatakan apa. Aku hanya mengangguk - angguk tak jelas. Si cowok mengambil
kamera dari tanganku, memencet - mencet tombolnya, dan mengambil foto ku dari
berbagai sisi. "Bagus kok," katanya. "Kelihatannya masih baru.
Nih," dia mengembalikan kamera malang tersebut. Aku hanya diam, masih
bingung bagaimana mengoperasikannya. "Kok belum mulai motret?"
tanyanya. "Padahal, banyak banget objek menarik lho. Lihat. Langitnya
bagus banget. Dengan siluet pohon, bakal jadi poto sempurna."
"Mmmmm... mmmm" aku menggumam ragu – ragu. "Sebenarnya, aku tak
bisa mengoperasikannya," kataku pasrah membayangkan dia akan
menertawakanku. Tapi, dia tidak tertawa. Dia mengajakku duduk di bangku kayu
dan memberikan kursus kilat kepadaku. Belakangan aku tahu, namanya Dodi. Dia
anggota klub senior dan seorang arsitek. Pertemananku dengan Dodi terus
berlanjut. Di setiap pertemuan, dia selalu memberikan tips - tips khusus
bagaimana mengambil foto yang baik, waktu terbaik untuk mengambil poto
panorama, angle sempurna untuk memotret seseorang. Percakapan kami berlanjut
tidak hanya seputar fotografi. Dilanjutka dengan cerita – cerita seputar
pekerjaan. Dia bercerita tentang designya, aku bercerita tentang kasus-kasus di
firma hukum tempatku bekerja. Dalam waktu dua bulan, kami menjadi dekat. Dodi
sahabat yang baik. Dia selalu bersedia mengajariku terhadap hal – hal yang tak
kuketahui tentang. Mendengarkan keluh kesahku tentang klien – klien yang
menyebalkan. Menghiburku saat aku kesal. Kebaikan tulus dari seorang sahabat.
Aku menyayanginya. Dan aku tahu, dia juga menyayangiku. Bahkan sangat
menyayangiku. Satu hal yang terkadang sangat merisaukanku. Aku memang menyukai
Dodi. Namun, aku khawatir, rasa sayangnya yang berlebihan akan membawanya
menyatakan sesuatu padaku, sesuatu yang akan sangat sulit kuterima. Aku memang
menyayanginya. Namun, aku tidak mencintainya. Aku mencintai seseorang yang tak
pernah tahu kalau aku mencintainya. Seseorang yang kucintai diam – diam. Aku
mencintai Rafie. Teman serumah saat aku tinggal di Wisma Kenanga, saat aku
bekerja di Bandung. Seseorang yang sempat mengisi mimpi – mimpi malamku.
Seorang yang bisa memebuat hariku di kantor terasa begitu menyenangkan hanya
karena sebuah email singkat darinya. Padahal email tersebut hanya menanyakan
nomor telepon seorang teman yang lain. Rasa pengecut menghalangiku untuk
menunjukkan perasaanku kepadanya. Aku tetap memendamnya, hingga dia pindah ke
Surabaya untuk melanjutan sekolah spesialisnya. Kepergiannya tak membuat
cintaku luntur. Perasaanku tetap kuat. Yakin, suatu saat dia akan datang
kepadaku. Setiap hari, hal pertama yang kulakukan adalah mengecheck facebook
miliknya, dan memastikan statusnya masih Single. Saat itu akhirnya tiba. Dodi
menyatakan cintanya kepadaku. Aku menerima cintanya. Bukan karena aku
mencintainya, hanya karena aku tak mau kehilangan perhatian darinya. Kehilangan
kebaikan – kebaikannya. Menerima cintanya hanya sekedar cara untuk membunuh
kesepian dan kerinduanku akan Rafie. Terkadang, aku merasa berdosa. Saat
bersamanya, aku malah membayangkan sosok Rafie. Pernah, suatu hari dia
memergokiku tengah memandang foto Rafie di facebook. Aku kaget bukan kepalang,
dan berpura – pura tenang menjelaskan bahwa Rafie adalah temanku, dan aku penasaran
ada dimana dia sekarang. Kukira Dodi akan cemburu. Ternyata aku salah. Dia
tetap bersikap biasa. Menganggap kelakuanku melihat foto laki – laki lain
dengan penuh damba adalah satu hal biasa. Namun, aku tak bisa membohongi diri.
Semakin lama aku bersamanya, aku semakin tersiksa. Sms – sms manis untuk
mengingatkan jangan lupa makan dan shalat darinya mulai membuatku bosan. Akhir
pekan mulai terasa menyiksa. Kebersamaan dengannya yang dahulu sangat kunikmati
berubah menjadi siksaan batin yang tak tertahankan. Sering, aku membatalkan
janji tanpa sebab, berpura – pura sibuk hanya sekedar ingin menghindarinya.
Kerinduanku pada Rafie, tak jarang membuatku marah tak beralasan kepadanya.
Begitupun, dia tetap baik. Mendengarkan amarahku hingga aku puas. Esoknya,
semuanya seolah tak pernah terjadi. Semuanya berawal dari reuni singkat itu.
Meskipun telah berpisah dengan teman – teman dari Wisma Kenanga, aku tetap
intens berkomunkasi dengan mereka melalui milis khusus. Melalui milis ini kami
saling memberi khabar, dan melalui milis ini pula aku mengetahui sedikit khabar
tentang Rafie. Tiga tahun tak pernah bertemu, kami memutuskan untuk melakukan
reuni kecil di Jogja, di rumah Harry, salah seorang teman. Jogja jadi pilihan
utama karena letaknya yang strategis dari Jakarta maupun Surabaya dimana kami
bermukim. Reuni yang kusambut dengan senang hati. Bayangan aku akan segera
bertemu dengan Rafie membuat nafaskku sesak jika membayangkannya. Aku
membatalkan janji dengan Dodi dan klub fotografi untuk hunting ke pedalaman
Kalimantan demi reni tersebut. Padahal, rencana hunting ini sudah lama sekali
dipersiapkan. Seperti biasa, Dodi memaklumiku. Sama sekali tidak marah dengan
keputusanku. Dia tetap memberikan kebaikan seperti biasanya. Kebaikan yang
membuatku malu. Dan marah. Terkadang, ingin rasanya melihatnya marah kepadaku,
agar aku tak perlu merasa terlalu bersalah. Reuni tersebut berjalan lancar dan
sempurna. Harry sudah jadi Direktur di salah satu organisasi yang sedang
ditanganinya. Eki sudah menikah dan Roby sudah memiliki sepasang anak kembar.
Hanya aku dan Rafie yang belum menikah. Rafie masih semenarik dulu. Yang
membedakannya hanyalah sikapnya yang semakin bertambah matang. Gayanya masih
tenang dan masih seintelektual dulu. Hal yang sangat kukagumi darinya dan membuatku
selalu rendah diri jika bersama dengannya. Aku tidak menyangka, pertemuanku
dengan Rafie terus berlanjut. Dia telah menyelesaikan sekolah spesialisnya di
Surabaya dan berniat pindah ke Jakarta, menerima tawaran bekerja di salah satu
rumah sakit swasta sebagai spesialis jantung. Kepindahannya ke Jakarta membuat
hubungan kami kembali dekat. Bahkan lebih dekat daripada saat kami tinggal
bersama. Aku mulai bermain api. Entah mengapa, kecanggunganku di depannya
hilang, dan aku bisa bersikap biasa kepadanya. Rasa cintaku semakin menggebu.
Aku semakin mencintainya. Tawaran makan malam bersama dengannya merupakan hal
yang paling kutunggu – tunggu. Bahkan, beberapa malam minggu aku membatalkan
janji dnegan Dodi untuk menghadiri konser musik klasik kesukaan Rafie.
Begitupun, aku masih tak tahu bagaimana perasannya padaku. Hari itu hari ulang
tahun Rafie. Aku memberinya surprise dengan memberikan bingkisan sederhana
untuknya. Meskpin biasa, namun Rafie sangat senang dengan yang kuberikan. Dia
mentraktirku makan malam di sebuah restoran di Kemang untuk merayakan ulang
tahunnya. Malam itu begitu sempurna, sebelum Rafie mengantarku pulang. Hari
sudah larut, menunjukkan pukul 11 malam. Namun, ada seseorang yang duduk di
teras rumahku. Dody. Oh Tuhan. Mau apa dia malam – malam begini. Dia sudah
terlanjur melihatku. Tak ada waktu untuk kabur, dan Rafie sudah terlanjur
keluar dari mobil. Dodi menyambutku pulang. Wajahnya kelihatan lelah. Ada sorot
kesedihan disana. Namun, seperti biasa. Dia tetap seperti malaikat. Tidak marah
kepadaku, dan tidak menunjukkan bahwa kami memiliki hubungan khusus. Tidak
sedikitpun dia menunjukkan kebencian kepada Rafie. "Hi Sheila. Aku
menunggu dari tadi. Ada seseorang yang menitipkan ini padamu. Kukira, harus
kusampaikan malam ini juga," dia menyerahkan sebuah bingkisan untukku.
Tersenyum hangat, meskipun aku tahu hatinya pedih. "Karena si bingkisan
sudah berada di tangan yang benar, aku pulang dulu ya. Senang berkenalan
denganmu Rafie," dia berlalu. Setelah Rafie pulang, aku membuka bingkisan
yang ternyata sebuah lensa tele yang sangat kuinginkan. Aku terenyuh ketika
mengingat hari ini adalah hari jadi kami. Dan aku telah melupakannya begitu
saja. Setelah kejadian itu, Dodi sedikit berubah. Perhatian yang diberikannya
sudah berkurang intensitasnya. Bahkan, ajakan hunting juga mulai jarang
terdengar. Namun, aku yang tengah dimabuk cinta tak terlalu memperdulikan
perubahan yang semakin lama seharusnya semakin terlihat. Bahkan, aku tak
mempermasalahkan, di hari ulang tahunku dia tak dapat merayakan bersama
denganku dikarenakan ingin bergabung bersama teman – teman lamanya dari
universitas di kota gudeg. Bagus juga, pikirku. Aku bisa menghabiskan malam ini
bersama Rafie. That’s the perfect night. Aku dan Rafie merayakan ulang tahunku
di sebuah restoran di Forth Season. Jamuannya bukan main. Rafie mentraktirku
untuk candle light dinner dan memberikan sebuah liontin berinisial namaku.
Malam yang diisi dengan penuh tawa dan canda. Tak sedikitpun aku terfikir akan
Dodi. Insiden itu terjadi kembali. Sudah tengah malam, Rafie mengantarku
pulang. Seperti dejavu. Seorang sosok tengah menunggu di beranda rumahku. Dodi.
Masih seperti kejadian sebelumnya. Aku sudah tidak memiliki waktu untuk kabur.
Dan Rafie sudah terlanjur keluar dari mobil untuk membukakan pintu mobil
untukku. Namun, dia tidak seperti Dodi yang biasa kutemui. Wajahnya yang selalu
tenang terlihat muram. Terlihat kecewa mungkin lebih pantas. Menyadari berada
di tempat dan waktu yang salah, Rafie segera undur diri dan mengucapkan salam
buatku dan Dodi. Seperti biasa, Dodi tetap sopan. Bahkan masih bisa melambaikan
tangan kepada Rafie. Seseorang yang telah merebut hatiku darinya. "Aku
tahu Sheila. Hubungan kita tak akan bisa berlanjut. Aku tidak ke Jogja. Aku
hanya mengetes, sampai dimana perasaanmu terhadapku. Dan, feelingku selama ini
benar. Kamu lebih mencintai dokter itu daripada aku." "Dodi..
Maaf...Aku.." aku berusaha mencari kata – kata pembelaan. "Sudahlah
Sheila. Tak ada gunanya menyangkal. Aku sudah menyaksikan sendiri. Aku hanya
ingin kamu bahagia. Selamat tinggal Sheil," dan dia meninggalkanku begitu
saja. Meskipun aku mencintai Rafie, putus dengan Dodi membuatku merasa sedikit
kehilangan. Aku merindakukan perhatiannya. Kesabarannya. Serta ketenangan yang
selalu diberikannya kepadaku. Dia masih tetap baik. Tak sedikitpun menunjukkan
tanda – tanda kebencian, padahal aku sudah jelas – jelas mengkhianatinya.
Hubunganku dengan Rafie, juga bertambah dekat. Namun, dia bukan Dodi yang
selalu mengerti aku. Aku selalu menemani Rafie menonton konser klasik
kesukaannya. Namun, dia selalu untuk menyaksikan konser Anggun yang selalu
ingin kutonton. Kurang berkelas, begitu katanya. Aku selalu mendengarkan dia
bercerita tentang hobinya mengoleksi miniatur pesawat, namun selalu menunjukkan
tampang pura - pura bego saat aku meminta sarannya akan foto - fotoku. Dan yang
paling parah, dia masih belum menyatakan cinta kepadaku. Aku harus bertindak.
Sudah hampir empat bulan kami berhubungan. Bertelepon setiap malam. Saling
mengirimkan sms sekedar mengingatkan untuk makan siang. Berkencan setiap akhir
pekan, jika bisa disebut kencan karena kami tak pernah mengucapkan tiga kata
sakti itu. Hingga satu malam, kuputuskan untuk melangkah lebih jauh. Aku harus
berani jika ingin mendapatkan kejelasan. "Maaf Sheila. Aku tidak tahu jika
kamu mencintaiku." Apa? Tak tahu? Jadi apa dikiranya hubungan kami selama
ini? "Sejak kapan kamu mencintaiku?" tanyanya "Sejak kita
tinggal bersama di Wisma Kenanga," jawabku datar. Aku sudah tahu kemana
arah pembicaraan ini. Aku mengkhianati orang yang telah mencintaiku dengan
sepenuh hati demi orang lain yang tak sedikitpun mencintaiku. Menunggu
seseorang yang tak layak untuk ditunggu. Aku malu. Pada Dodi. Terlebih pada
diriku sendiri. Aku mencapakkan Dodi untuk seseorang yang tak layak untuk
dicintai. Benar kata orang, "You dont know what you got till it’s
gone" . Setelah putus dengan Dodi, aku baru menyadari bahwa aku
mencintainya. "Hi Sheila. Apa khabar. Kamu cantik sekali malam ini,"
Dodi menyambutku di pintu apartemennya. "Baik. Kamu apa khabar? Lama tak
terdengar," balasku "Baik sayangku. Maaf. Aku begitu sibuk akhir –
akhir ini. Dikejar deadline. Tak pernah meneleponmu lagi," sesalnya.
Meskipun telah putus, Dodi terkadang masih menelponku dan masih memanggilku
‘sayangku’. Sekedar untuk mengucapkan halo atau membicarakan klien – kliennya.
"No problem," jawabku. "Selamat Ulang Tahun ya," kuserahkan
bingkisan yang telah kupersiapkan. "Wow... Terima kasih.. "You don’t
have to do that," "Hey. It’s your birthday," balasku. "Ok
dear. Ayo masuk. Ada seseorang yang ingin kuperkenalkan padamu. For your
information, kamu orang pertama yang tahu akan hal ini," Aku mengikuti
Dodi masuk ke apartemennya. Perasaanku mulai tidak enak. Rencana yang mulai
kususun di dalam benakku mulai porak poranda. Apakah ini sebuah firasat? Sudah
ada orang lain di ruang tamu nya. Seorang wanita duduk di atas sofa, sambil
memandang ke luar jendela menikmati Jakarta di waktu malam. "Sayangku, aku
ingin memperkanalkan calon istriku, Annisa. Aku baru saja melamarnya," -
tamat -
sumber
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar